negara yang menerapkan kebijakan pro natalis
Munculnyawabah Covid-19 di dunia maupun Indonesia membuat beberapa negara mengambil langkah yang cepat. Hal ini dilakukan guna menyelamatkan warga atau masyarakatnya serta menyelamatkan perekonomian negara. Sejak kasus Covid-19 di temukan di Pro Kontra Kebijakan New Normal sebagai Langkah Pemulihan Perekonomian.
Iamengingatkan agar jangan seperti kasus di beberapa negara yang melakukan pelonggaran yang salah di tempat wisata yang akhirnya menyebabkan peningkatan kasus. PMII UIN Walisongo Desak Pemerintah Menerapkan Kebijakan Pro Rakyat. Niat Puasa Tasu'a dan Asyura, Simak! Ini Keutamaan Bulan Muharram Dies Natalis Ke-18 STIKES Cendekia Utama
Presidensoekarno adalah orang yang pro natalis dan sangat anti program pembatasan kelahiran. Seperti yang dialami oleh Louis Fischer, dimana ia mengkritik kebijakan Soekarno yang tidak melakukan pengendalian tingkat kelahiran. Hal tersebut ia ungkapkan ketika mereka mengunjungi kompleks kumuh militer, lingkungan miskin, dan desa-desa di Jawa
answer- Tuliskan 5 judul definisi kebijakan publik beserta pengarang, penerbit, jumlah halaman ,dan isi buku
Jikadi Indonesia 93% masyarakatnya merupakan pro-natalis (Patnani, dkk., 2021) maka Sebagian lagi bisa jadi tidak terlalu mempermasalahkan tentang harus adanya anak dalam keluarga atau pernikahan. Pemikiran inilah yang menyebabkan mereka tumbuh menjadi dewasa yang juga tidak mengharuskan dirinya harus memiliki anak setelah menikah. Sosial
Wo Kann Ich Reiche Männer Kennenlernen. Artikel ini membahas tentang bagaimana dua negara Teluk Arab, yaitu Arab Saudi dan Uni Emirat Arab UEA, menerapkan kebijakan kepada para pekerja asing. Arab Saudi dan UEA memiliki peraturan yang sama untuk membatasi pekerja asing yaitu Nitaqat untuk Arab Saudi dan Tawteen untuk Uni Emirat Arab. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan perbedaan antara dua kebijakan yang telah menjadi kebijakan negara skala nasional itu. Dalam menganalisisnya, penulis menggunakan teori perbandingan politik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Arab Saudi dan UEA memiliki alasan yang sama mengapa mereka menerapkan kebijakan untuk membatasi pekerja asing. Pembatasan tenaga kerja asing adalah fenomena regional di negara-negara Gulf Cooperation Council GCC karena mereka memulai pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan pentingnya sektor tenaga kerja yang diperuntukkan bagi warga negara. Selain itu, kedua negara memiliki pengalaman yang berbeda dalam proses pengusulan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah dan sektor industri. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 160 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 161Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019160 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 161Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabPerbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabSara Novia Satry dan Agus HaryantoProgram Studi Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirmane-mail article discusses how two Arab Gulf countries, namely Saudi Arabia and the United Arab Emirates UAE, implemented policies for foreign workers. Saudi Arabia and the UAE have the same regulations to limit foreign workers namely Nitaqat for Saudi Arabia and Tawteen for the United Arab Emirates. The purpose of this article is to explain the dierence between the two policies which have become national-scale state policies. In analyzing it, the writer uses political comparison theory. The results of this study indicate that Saudi Arabia and the UAE have the same reason why they implement policies to restrict foreign workers. The limitation of foreign workers is a regional phenomenon of the Gulf Cooperation Council GCC countries because these countries have started a sustainable development and paid attention to the importance of the labor sector which is reserved for citizens. In addition, the two countries have dierent experiences in the process of proposing policies related to the interests of the government and the industrial Gulf Cooperation Council, Nitaqat, Saudi Arabia, Tawteen, United Arab EmiratesAbstrak Artikel ini membahas tentang bagaimana dua negara Teluk Arab, yaitu Arab Saudi dan Uni Emirat Arab UEA, menerapkan kebijakan kepada para pekerja asing. Arab Saudi dan UEA memiliki peraturan yang sama untuk membatasi pekerja asing yaitu Nitaqat untuk Arab Saudi dan Tawteen untuk Uni Emirat 160 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 161Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019160 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 161Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabArab. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan perbedaan antara dua kebijakan yang telah menjadi kebijakan negara skala nasional itu. Dalam menganalisisnya, penulis menggunakan teori perbandingan politik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Arab Saudi dan UEA memiliki alasan yang sama mengapa mereka menerapkan kebijakan untuk membatasi pekerja asing. Pembatasan tenaga kerja asing adalah fenomena regional di negara-negara Gulf Cooperation Council GCC karena mereka memulai pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan pentingnya sektor tenaga kerja yang diperuntukkan bagi warga negara. Selain itu, kedua negara memiliki pengalaman yang berbeda dalam proses pengusulan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah dan sektor Kunci Arab Saudi, Gulf Cooperation Council, Nitaqat, Tawteen, UEAPendahuluanBerdasarkan besarnya pengaruh ketenagakerjaan bagi negara, bidang ketenagakerjaan melalui pekerja asing mendapat perhatian tersendiri dalam studi hubungan internasional. Secara khusus, isu ketenagakerjaan berhubungan dengan regulasi migrasi dan ketenagakerjaan, baik dari negara pengirim atau negara penerima pekerja asing tersebut. Secara umum, pintu masuk para pekerja asing ini dapat melalui pemerintah, perusahaan, atau lembaga yang menaungi urusan penyaluran tenaga kerja. Masuknya sektor industri seperti perusahaan perminyakan ke negara-negara di daerah gurun seperti Arab Saudi, mendorong datangnya pekerja asing untuk dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Meskipun termasuk sebagai salah satu negara yang tidak pernah mendapat pengaruh kolonialisasi dari negara manapun secara langsung, Arab Saudi mulai menjalankan strategi pembangunan negara dengan membuka diri terhadap perusahaan asing dengan secara gencar, di mana salah satunya dengan mengutamakan komoditas perminyakan sebagai nilai jual dan cikal bakal penyokong sumber dana terbesar bagi Arab Saudi. Secara spesik, situasi ini sudah dimulai sejak tahun 1930 Simmons, 2005.Arab Saudi tercatat sebagai negara penghasil minyak bumi nomor satu di dunia CIA, 2018, di mana tambang minyak sebagai tulang punggung pendapatan Arab Saudi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat negara perlu 162 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 163Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019162 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 163Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmendatangkan tenaga kerja profesional dari negara lain untuk dipekerjakan Al-Asmari, 2014. Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, Arab Saudi menyadari situasi ini akan menjadi persoalan di masa depan, yakni semakin terpinggirkannya pekerja nasional. Oleh karena itu, Kerajaan Arab Saudi melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial, pada tahun 2011 mengeluarkan salah satu wujud dari Saudisasi atau nasionalisasi Saudi dalam wujud sebuah program yang bernama Nitaqat Alshanbri, 2014.Selain Arab Saudi, Uni Emirat Arab UEA juga berhadapan dengan persoalan ketenagakerjaan yang sama, sehingga mereka ikut mengambil kebijakan pembatasan tenaga kerja asing. UEA mengeluarkan mandat yang mengharuskan perusahaan atau instansi untuk mengangkat penduduk lokal Emirat sebagai pekerjanya dalam bentuk kebijakan bernama Emiratisasi atau Tawteen . Hal ini dilakukan dengan tujuan menurunkan angka pengangguran penduduk lokal yang selalu menjadi beban negara karena semakin terlena akan terbebasnya dari kewajiban membayar pajak dengan riwayat hidup tanpa pekerjaan atau menganggur. Emiratisasi juga bertujuan untuk mengkampanyekan kebijakan yang berorientasi pada pembangunan dengan menambah dukungan terhadap kegiatan produksi 2019. Tulisan ini bermaksud menjelaskan fenomena sistem ketenagakerjaan di Timur Tengah, terutama di Arab dan Uni Emirat Arab, serta perbandingan kebijakan ketenagakerjaan di kedua negara. Untuk menjelaskan hal ini, penulis menggunakan teori perbandingan politik. Sementara metode penelitian yang diambil adalah metode kualitatif. Penulisan artikel ini dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu pendahuluan, pemaparan mengenai teori perbandingan politik, sejarah pekerja asing di Timur Tengah, faktor tuntutan dari GCC, kebijakan ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, serta Perbandingan PolitikPerbandingan Politik atau komparatif politik adalah sebuah studi yang membandingkan politik lintas negara dengan melihat aspek-aspek mana saja yang disorot dan menjadi kebutuhan sebagai pembandingan ini. Dari melakukan perbandingan juga dapat diperoleh persamaan-persamaan serta perbedaan-perbedaan dari suatu objek yang dikaji dengan objek lainnya. Tujuannya adalah untuk dapat mengetahui persamaan, perbedaan, kelebihan, dan kekurangan yang dimiliki dari objek-objek yang diteliti. Aspek politik yang dapat dipergunakan 162 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 163Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019162 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 163Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmeliputi persoalan sistem pemerintahan, kebijakan publik, serta struktur yang meliputi struktur negara, elite, dan kelompok yang akan dibahas nantinya adalah tentang kebijakan yang mengatur persoalan ketenagakerjaan yang ada di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua negara tersebut termasuk ke dalam kebijakan publik, yang mana kebijakan publik berarti dirancang untuk mencapai tujuan khusus dan membuahkan hasil-hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan yang ada di badan birokrasi. Kebijakan publik dianggap penting, karena dimaksudkan untuk memecahkan masalah umum atau setidaknya untuk memperbaiki masalah tersebut yang dapat berupa kebijakan yang menyangkut hal-hal kecil bagi kehidupan bermasyarakat, namun juga meliputi kebijakan berskala besar Newton & Deth, 2016.Sejarah Pekerja Asing di Timur TengahSebagai negara-negara penghasil minyak, negara-negara di Timur Tengah menjadi tujuan utama bagi para profesional yang bekerja di sektor tambang. Kedatangan tenaga kerja asing ke Arab Saudi pun awalnya ditandai kehadiran ekspatriat minyak, yang kemudian mendorong jumlah warga negara asing mengalami peningkatan. Data menunjukkan bahwa adanya kedatangan migran yang secara masif ke Arab Saudi dengan peningkatan sekitar 27% dari jumlah total populasi negara yang saat itu masih berada di angka 13 juta penduduk dalam rentang waktu 1991-1992 Bel-Air b, 2018. Sementara itu, kondisi di negara-negara sekitar UEA pada masa itu tengah mengalami konik dalam negeri dari gejolak masyarakat karena dipicu oleh krisis minyak. Namun efek dari krisis minyak tidak membawa pengaruh buruk secara masif, seperti kekisruhan di dalam negeri, karena UEA baru dijadikan negara independen oleh pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1971. Dengan demikian, UEA masih lebih stabil dari segi ekonomi politik jika dibandingkan negara-negara sekitarnya. Pada tahun-tahun awal pembangunan di tahun 70-an, UEA sangat bergantung kepada tenaga kerja asing agar mereka dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan standar hidup di dalam negeri. Lalu diperkenalkanlah program pekerja tamu sementara yang bertajuk Kafala Sponsorship System. Dalam program ini diatur bagaimana kesempatan bagi warga negara, ekspaktriat, dan perusahaan untuk mempekerjakan pekerja asing Malit Jr & Al Youha, 2013. 164 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 165Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019164 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 165Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabProgram tersebut membantu berbagai perusahaan untuk memenuhi kebutuhan mereka atas tenaga kerja yang mampu mengisi lapangan pekerjaan yang tersedia sesuai dengan standar yang mereka tetapkan. Namun di saat yang sama, program tersebut mendorong tajamnya peningkatan perbedaan proporsi antara pekerja Emirat dan pekerja asing. Angka pertumbuhan migran di UEA adalah sebesar 14,5% dari jumlah total populasi jumlah penduduk UEA tahun 2017 adalah sekitar 9,4 juta jiwa. Menurut data National Bureau of Statistics / Federal Competitiveness and Stastistics Authority 2014, bahkan sensus pertama yang diadakan pada tahun 1975 sudah menunjukkan bahwa warga negara asing telah mendominasi populasi di UEA dengan persentase 63,9% Bel-Air a, 2018. Dengan demikian, UEA sudah sejak awal berdirinya telah didominasi oleh warga negara asing yang secara terbuka dan berdasarkan kebutuhan diterima oleh pemerintah kebijakan Nitaqat di Saudi untuk menurunkan angka pekerja asing telah membuat negara-negara penghasil minyak yang berada di kawasan Teluk menjadi tertarik untuk membuat kebijakan serupa guna mencapai kepentingan negara yang tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki Arab Saudi terhadap urusan ketenagakerjaannya Peck, 2017. Keseluruhan persoalan ketenagakerjaan yang dihadapi oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membuat kedua negara harus mampu membuat kebijakan yang mempertimbangkan kepentingan sektor individu dan perusahaan yang merupakan objek dari kebijakan ini. Harapannya, kebijakan tersebut dapat berselaras dengan kepentingan yang dimiliki negara untuk menstabilkan perekonomian mereka. Dalam kerangka GCC Gulf Cooperation Council, yaitu organisasi regional yang mencakupi negara-negara di Teluk Arab, yakni Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab, telah disepakati kebijakan kuota pekerja. Kebijakan tersebut berbentuk pengurangan jumlah tenaga kerja asing yang tersebar di negara-negara GCC agar dapat digantikan oleh pekerja pribumi atau warga negara asli Forstenlechner, et al., 2011 1.Tahapan Kebijakan Pekerja Migran di Negara-Negara Teluk GCC Pesatnya proyek-proyek pembangunan seiring dengan ditemukannya minyak di negara-negara Teluk GCC pada tahun 1973 membuat permintaan tenaga kerja pun meningkat sangat cepat, baik tenaga kerja yang terampil maupun unskilled labor, yang tidak dapat dipasok sepenuhnya dari dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh minimnya tenaga kerja dari penduduk asli karena tidak adanya lembaga pendidikan dan pelatihan yang modern. Pada tahun 1975, total tenaga kerja nasional dari enam negara Teluk penghasil minyak hanya berjumlah 1,36 juta orang. Oleh karena 164 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 165Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019164 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 165Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabitu, untuk menghadapi dua keterbatasan dasar ini, kebijakan yang diadopsi oleh negara-negara Teluk adalah membuka pintu bagi tenaga kerja asing. Namun negara-negara itu juga menerapkan kebijakan jangka panjang yang terdiri dari dua elemen dasar, yaitu implementasi kebijakan pro-natalis yang ekstrem untuk meningkatkan angka kelahiran dan investasi besar di bidang pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dari kebijakan jangka pendek itu, selama masa berlimpahnya produksi minyak 1973-1982, jumlah tenaga kerja asing di negara-negara Teluk meningkat pesat, mencapai 4,4 juta pada tahun 1985. Ketika era oil boom berakhir dan ada penurunan tajam dalam pendapatan minyak pun jumlah tenaga kerja asing terus meningkat, meskipun dengan laju yang lebih lambat dibandingkan sebelumnya. Pada tahun 1985, tenaga kerja asing di negara-negara GCC berjumlah 4,4 juta dan mencapai 5,2 juta pada pertengahan 1990, sementara jumlah orang asing secara keseluruhan berjumlah 9,4 juta orang Focus Migration, 2012 3.Sementara itu, kebijakan pro-natalitas ternyata tidak berhasil mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Kebijakan pro-natalitas adalah kebijakan untuk meningkatkan jumlah kelahiran anak sehingga penduduk pribumi meningkat. Kebijakan ini diterapkan melalui beberapa program, di antaranya mendorong pernikahan dini dengan memberikan dana pernikahan, subsidi pendidikan, tunjangan anak, serta penyediaan fasilitas perumahan. Program ini didasari target meningkatkan jumlah sumber daya manusia yang tersedia di suatu negara dengan mendorong reproduksi dan populasi pertumbuhan, agar negara tepat sasaran dalam upaya meningkatkan esiensi warga negara usia pekerjanya untuk turut memajukan peradaban negara. Sejak pertengahan 1990-an, Oman dan Arab Saudi telah mulai menghentikan kebijakan pro-natalis ini, namun pada praktiknya berbagai subsidi itu tetap diberikan. Meskipun demikian, angka kelahiran terus menurun. Bahkan di negara yang tetap memberlakukan kebijakan pro-natalis seperti Qatar dan Kuwait, tingkat kelahiran menurun menjadi sekitar 3,5 anak per wanita dibandingkan dengan 6 hingga 8 anak di tahun 1970-an dan awal 1980-an. Penurunan ini terutama disebabkan oleh meningkatkan taraf pendidikan wanita Focus Migration, 20123. Akhirnya pada tahun 1990, negara-negara GCC mulai menyadari bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia di sektor publik tidak dapat menyerap tenaga kerja mereka secara optimal. Pada masa itu, tingkat pengangguran di kalangan penduduk pribumi di masing-masing negara GCC mencapai lebih dari 10%. Ketidakmampuan negara-negara ini disorot dari fakta perihal kebijakan-kebijakan dari GCC yang banyak berfokus pada upaya meningkatkan kemampuan kelompok pencari kerja 166 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 167Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019166 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 167Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabini untuk menjadikan sektor swasta sebagai pilihan dalam memasuki jenjang karir Forstenlechner, Madi, Selim, & Rutledge, 20111. Kebijakan nasionalisasi angkatan kerja tradisional GCC sukses di sektor publik, namun hampir sepenuhnya gagal di sektor swasta terutama karena untuk kesenjangan gaji yang lebar antara warga negara dan pekerja asing; serta penentangan dari pengusaha-pengusaha asing dalam mempekerjakan warga pribumi karena mereka lebih memilih pekerja asing Focus Migration, 2012 4. Selain itu, fenomena Arab Spring juga menjadi salah satu pendorong berubahnya kebijakan ketenagakerjaan. Arab Spring adalah gelombang aksi-aksi demo rakyat di berbagai negara Arab memprotes kondisi ekonomi mereka. Salah satu hal yang diserukan dalam Arab Spring adalah tentang perbaikan ekonomi dengan cara melepaskan diri dari ketergantungan kepada minyak dan beralih kepada penguatan ekonomi lokal dengan mendorong rakyatnya untuk bekerja pada sektor Arab Spring dimulai di Tunisia pada 2011, dan kemudian menyebar ke negara-negara GCC, terutama ke Bahrain dan Oman. Hal ini membuat pemerintah negara-negara GCC menghentikan kebijakan nasionalisasi dan sebagai gantinya, mereka berkonsentrasi mengurangi pengangguran kaum muda yang berpendidikan dan meningkatkan taraf hidup warga negara, apa pun implikasi jangka panjangnya terhadap pasar tenaga kerja. Pada 18 Maret 2011, Raja Abdullah dari Arab Saudi mengumumkan implementasi reformasi sosial ekonomi baru yang terutama mencakup pembayaran langsung gaji dua bulan kepada semua pegawai pemerintah sebagai kompensasi untuk kenaikan biaya hidup; pembayaran bulanan sebesar Riyal Saudi sebagai tunjangan pengangguran; menetapkan upah minimum sebesar Riyal Saudi untuk semua pegawai pemerintah; dan menambah posisi di Kementerian Dalam Negeri. Namun, akibatnya, hal ini membuat menurunnya upaya warga negara untuk mencari pekerjaan di sektor Kerajaan Oman juga mengambil kebijakan serupa, antara lain menaikkan upah minimum dari $ 364 menjadi $ 520 untuk karyawan sektor publik. Empat negara GCC lainnya juga mengambil langkah serupa, yaitu meningkatkan standar hidup, meningkatkan upah sektor publik dan mengurangi pengangguran di kalangan pemuda melalui penyerapan besar-besaran ke sektor publik. Focus Migration, 2012 10.Harga minyak dunia yang mengalami titik rendahnya pada pertengahan 2014 membuat GCC berfokus pada upaya diversikasi ekonomi atau usaha untuk menghindari ketergantungan pada ketunggalan perekonomian dengan 166 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 167Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019166 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 167Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmemaksimalkan sektor industri yang mendayagunakan kemampuan sumber daya manusia SDM yang terdapat di perusahaan. Antara lain yang mereka lakukan di tahap awal adalah melakukan promosi atas sektor swasta sebagai penghasil pendapatan pajak dan lapangan kerja, khususnya untuk menerima dan mendorong agar warga negara mereka memasuki pasar kerja. Selain itu, pusat ekonomi dialihkan dari sektor minyak sebagai upaya mitigasi atas rentannya harga minyak yang semakin tidak menentu serta dominannya negara di luar GCC seperti Irak, Libya, Kongo, dan Papua Nugini yang turut meramaikan bursa penjualan minyak dunia Stevens, 20162. Dengan demikian, usaha-usaha untuk melakukan diversikasi ekonomi semakin memperkuat gagasan untuk memberlakukan usaha pembagian kuota pekerja terhadap lapangan pekerjaan di dalam negeri yang sebenarnya telah mereka inisiasi 24 tahun sebelumnya. Negara-negara GCC berupaya mengarahkan warga negaranya untuk bekerja di sektor swasta dan masing-masing negara kemudian mengeluarkan agenda nasional dengan tajuk vision yang mencakup peralihan ketergantungan negara-negara di Teluk Arab akan sumber daya minyak. Dengan demikian, banyak pemerintah GCC berusaha untuk mempromosikan reformasi ekonomi, dengan penekanan khusus pada perlunya privatisasi yang luas. Misalnya, Arab Saudi pada bulan April 2016 telah meluncurkan Program Transformasi Nasional NTP sebagai bagian dari kerangka implementasi untuk Visi 2030. Kuwait berencana meningkatkan partisipasi sektor swasta hingga 40-50 persen dalam usaha patungan publik-swasta, antara lain di sektor bandara, pelabuhan, pembangkit listrik dan bagian-bagian Kuwait Petroleum. Penguasa Qatar dilaporkan melakukan esiensi anggaran pada 2016 yang dimaksudkan untuk fokus penghematan dalam pengeluaran pemerintah dan untuk mempromosikan pertumbuhan di sektor non-minyak Stevens, 2016. Negara-negara GCC juga mengharuskan sektor swasta di dalam negari untuk merekrut warga negaranya dengan kuota yang berbeda-beda, dilihat dari kebijakan negara yang menaunginya. Adapun Arab Saudi melalui Nitaqat dan Uni Emirat Arab dengan Tawteen adalah contoh dua negara yang menerapkan kebijakan terhadap lapangan pekerjaan. GCC juga mengeluarkan kebijakan ketenagakerjaan dengan menghomogenkan sektor swasta di dalam negeri agar terciptanya peluang kerja yang lebih luas dan berkelanjutan. Dalam hal ini, UEA turut serta dalam menerapkannya di internal negara dengan tiga prinsip utama, yaitu; pertama, prinsip diversikasi sebagai tujuan jangka panjang dalam upaya untuk menjauh dari ketergantungan yang berlebihan pada sektor padat modal. Kedua, merombak sistem pendidikan dan lebih menyelaraskan 168 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 169Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019168 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 169Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabdengan bekal keterampilan individu yang mengacu kepada kebutuhan pasar pekerja. Ketiga, melakukan intervensi terhadap pasar, seperti menetapkan kuota dan alokasi jenis pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh warga lokal Forstenlechner, Madi, Selim, & Rutledge, 2011 4. Arab Saudi menetapkan program yang disebut Vision 2030 yang isinya menetapkan tujuan transformasi ekonomi Arab Saudi yang mendiversikasi pertumbuhan, mengurangi ketergantungan pada minyak, meningkatkan peran sektor swasta, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi warga negara. Di antara program yang dilakukan adalah meningkatkan sektor swasta dalam ekonomi, privatisasi, reformasi, menarik investasi asing, dan mendorong pengembangan pasar modal Stevens, 2016. Agenda tersebut dirilis pada April 2016 dengan tujuan untuk mereformasi Saudi secara fundamental dengan berorientasi kepada upaya meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat Saudi itu sendiri. Vision 2030 merupakan cetak biru ekonomi yang berupaya untuk mengubah negara menerapkan ekonomi produktif yang berbasis kepada industri agar dapat mengurangi ketergantungan Arab Saudi terhadap sumber daya minyaknya. Gagasan asli dari Vision 2030 berasal dari dokumen tahun 2015, Arab Saudi Beyond Oil yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan konsultan bisnis. Isi dari dokumen tersebut adalah laporan mengenai jebakan ketergantungan Arab Saudi akan sumber daya minyak mereka, serta langkah preventif apa yang mereka butuhkan untuk membangun ekonomi yang berkelanjutan Nuruzzaman, 2018 1-2. Pada intinya, Vision 2030 berisi tentang tuntutan-tuntutan ekonomi dan pembangunan yang diajukan kepada Kerajaan Arab Saudi oleh warga negara, kelompok regional GCC, serta kelompok kepentingan yang melihat ketergantungan minyak akan menyebabkan terpuruknya Arab Saudi di masa yang akan dengan Arab Saudi, Uni Emirat Arab pula memiliki agenda nasional jangka panjang yang tertulis dalam program Vision 2021. Agenda ini dirilis pada tahun 2010 di tingkat negara federal sebagai upaya preventif dalam menghadapi krisis akibat menurunnya keuntungan negara atas pendapatan sektor minyak Moshashai, 2018 5.Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi Arab Saudi melakukan upaya peningkatan tenaga kerja lokal yang tidak hanya dirancang untuk mengatasi urusan pengangguran endemik, namun sesungguhnya untuk menjadi langkah preventif dari segi politik dan ekonomi. Tuntutan untuk 168 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 169Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019168 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 169Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmengurusi sektor ketenagakerjaan di Arab Saudi secara lebih terfokus justru bersumber dari kesadaran pemerintah atas kebutuhan mereka untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan, bukan karena adanya permintaan warga Saudi sendiri untuk dapat mengakses pekerjaan seluas-luasnya. Lapangan kerja di Arab Saudi sudah menerima pekerja dari luar negeri dengan jumlah perbandingan sekitar warga asing dan jumlah warga Saudi, menurut data World Bank pada tahun 1998 Randeree, 2012. Bangkitnya usaha perminyakan di tahun 2000 mendorong perekonomian di Arab Saudi meningkat dari 58,2 miliar dollar menjadi 63,1 miliar dollar Cordesman, 2003. Naiknya pendapatan negara dapat mendorong ekonomi bertumbuh dengan masif, membuat warga negara asing semakin berkeinginan untuk mencari kesejahteraan di Arab Saudi. Pertumbuhan pekerja asing tersebut membuat jumlah populasi meningkat sebesar 1 juta orang hanya dalam kurun dua tahun dari 1998 ke 2000, yakni masa ketika Saudi tengah mengalami pertumbuhan ekonomi. Menyikapi persoalan meningkatnya populasi pekerja asing tersebut, pemerintah mencoba menekannya dengan memberikan peraturan berupa range untuk pembagian kuota pekerja di dalam suatu instansi di antara pekerja asing dan pekerja lokal. Hal ini termasuk dalam misi negara untuk mengganti pekerja asing menjadi pekerja Saudi. Saudi juga semakin memperketat pengurusan dokumen bagi imigran, bahkan turut melakukan pengecekan atas dokumen dari imigran yang ada di dalam negeri. Lalu bagi yang melanggar keabsahan dokumen yang imigran miliki, mereka akan dideportasi ke negaranya kembali Wynbrandt, 2014.Kebijakan pengetatan aturan ini kemudian berkembang menjadi kebijakan ketenagakerjaan bernama Nitaqat di tahun 2011. Lalu timbullah permasalahan akibat reaksi perusahaan-perusahaan yang keberatan atas kebijakan ini. Perusahaan-perusahaan itu merasa dirugikan karena mereka harus merekrut warga Saudi sesuai ketetapan pemerintah. Keberatan tersebut antara lain dikarenakan banyak pekerja Saudi yang tidak punya kompetensi, keahlian individu yang belum dapat memenuhi kebutuhan perusahaan, atau kurangnya tanggung jawab para pekerja lokal dikarenakan mereka merasa aman dengan adanya subsidi negara apabila mereka kembali menganggur. Menyikapi tuntutan dari perusahaan sebagai kritik atas kebijakan ketenagakerjaan yang pada awalnya untuk menyelamatkan pekerja Saudi ini, pihak kerajaan pada akhirnya membuat Nitaqat dengan menyertakan berbagai range guna dapat mengklasikasikan perusahaan berdasarkan jumlah perbandingan 170 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 171Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019170 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 171Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabpekerja asing dan lokal yang mereka miliki. Aturan ini disertai dengan keuntungan yang mereka akan dapatkan apabila perusahaan berkenan untuk merekrut pekerja Saudi sesuai dengan ketentuan yang ada, yaitu perusahaan juga dapat merekrut pekerja asing lebih leluasa, bergantung kepada di range mana perusahaan mereka berlabel Cordesman, 2003.Kebijakan Nitaqat memiliki tujuan yang sejalan dengan Vision 2030 yang menjadi pilar penting dalam program pembangunan yang dimiliki oleh pemerintah Arab Saudi. Kebijakan ini memberikan efek kombinasi kepada pekerja asing, yaitu menekan jumlah pekerja asing yang tersebar di sektor swasta sekaligus memberikan peluang bagi warga negara Saudi untuk mendapatkan pekerjaan Peck, 2017. Jika dilihat dengan cakupan yang besar, kebijakan ini memiliki tujuan di antaranya untuk meningkatkan kinerja pasar tenaga kerja, menyediakan lingkungan pekerjaan yang layak bagi warga negara, pengurangan lapangan kerja yang non-produktif untuk kemudian menargetkannya kepada warga Saudi dalam usia dan kondisi yang prima untuk bekerja, dan pengurangan ketergantungan terhadap pekerja asing Minister of Labor & Social Development. Kronologi kebijakan Nitaqat dimulai sejak tahun 1994 dengan dikeluarkannya Council of Ministers Decision No. 50 of 1994 on Saudisation yang berisi tentang rekomendasi bagi seluruh perusahaan yang berada di dalam wilayah Saudi Arabia untuk merekrut warga Saudi sebagai pekerjanya Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia a, 1994. Bahkan pada tahun tersebut sudah diatur kuota minimal sebesar 5% dari total pekerja yang ada untuk diisi oleh pekerja dari warga Saudi, meliputi segala bentuk usaha, aktivitas, maupun bidang dari perusahaan tersebut. Kebijakan kuota minimal inilah yang kemudian mengalami pengembangan secara lebih spesik berpuluh tahun kemudian dalam range kebijakan Nitaqat. Seiring perkembangan zaman dan arus pekerja yang semakin meningkat setiap tahunnya, dalam Ministerial Decision No. 4040 yang dikeluarkan pada 10 September 2011 Saudi memberlakukan penggunaan Nitaqat Ministry of Labour of Kingdom of Saudi Arabia b, 2011. Kebijakan ini kemudian disusul oleh keputusan menteri pada tanggal 16 Oktober 2011 dalam Ministerial Decision No. 1/4687 berisi perintah yang diantaranya tiap perusahaan harus memiliki 1 tenaga kerja berkerwarganegaraan Arab Saudi per 9 tenaga kerja berkewarganegaraan asing. Kebijakan juga akan berlaku bagi perusahaan yang memiliki pegawai kurang dari 10 orang untuk setidaknya memiliki 1 orang pegawai Saudi. Selain itu, tiap pihak yang mempekerjakan baik pekerja asing maupun lokal diwajibkan untuk memberikan akses fasilitas dan asuransi 170 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 171Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019170 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 171Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabsebagai wujud dari pertanggungjawaban dari kewenangan yang diberikan oleh pihak kerajaan Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia c, 2011.Setahun setelahnya dikeluarkan kebijakan diferensiasi kelas bagi tiap perusahaan berdasarkan tingkat kemampuan mereka untuk menerima warga Saudi sebagai tenaga kerja di perusahaan bersangkutan dalam Ministerial Decision No. 1/5024 yang dikeluarkan pada 12 Oktober 2012. Hal ini menjadikan Nitaqat sebagai kebijakan yang menentukan apakah suatu perusahaan dapat menerima tenaga kerja asing baru dan apakah diperbolehkan bagi seorang warga negara asing untuk bekerja di perusahaan dengan melihat di kelas apa perusahaan itu berada. Jika sebuah perusahaan tidak mempekerjakan warga Saudi bahkan dengan jumlah minimal yang sudah ditentukan oleh pemerintah, perusahaan tersebut akan kesulitan dalam mengakses izin tinggal dan visa bagi pekerja asingnya, baik dalam urusan memperpanjang atau untuk merekrut pekerja asing yang baru Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia d, 2012. Kebijakan inilah yang nantinya akan menjadi pemantik diberlakukannya Nitaqat di dalam negeri. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Nitaqat merupakan kebijakan yang termasuk dalam skema atau kebijakan Saudisasi. Kebijakan ini memberikan efek kombinasi kepada pekerja asing, yaitu menekan jumlah pekerja asing yang tersebar di sektor swasta di suatu negara sekaligus memberikan peluang bagi warga negara Saudi untuk mendapatkan pekerjaan Peck, 2017. Adapun diferensiasi dalam Nitaqat adalah sebagai berikutTabel 1. Range NitaqatKelas Kuota Visa Rekrutmen IqamaPlatinum>40% pekerja SaudiProses visa tanpa batas waktuDapat merekrut pega-wai dari kelas Yellow/RedDapat memperbarui iqama, bahkan 3 bulan sebelum masa berlaku habisGreen>12% pekerja SaudiProses visa tiap 2 bulan sekaliDapat merekrut pega-wai dari kelas Yellow/RedDapat memperbarui iqama, bahkan 3 bulan sebelum masa berlaku habis 172 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 173Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019172 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 173Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabYellow>7% pekerja SaudiTidak dapat memproses visaTidak dapat merekrut dan menolak kepin-dahan pegawai dari kelas lainTidak dapat memperba-rui iqamaRed>4% pekerja SaudiTidak dapat memproses visaTidak dapat merekrut dan menolak kepin-dahan pegawai dari kelas lainTidak dapat memperba-rui iqama Sumber Saudi Expatriate 2017Terlihat di tabel, sistem Nitaqat mengklasikasikan organisasi ke dalam 4 kategori, yaitu Platinum, Hijau, Kuning dan Merah tergantung pada ukuran entitas dan persentase warga negara Saudi untuk karyawan asing dalam tenaga kerja mereka. Pengusaha yang berbasis di Saudi dalam kategori Platinum dan Hijau mewakili rasio tertinggi warga negara Saudi, di mana Kuning dan Merah menunjukkan rasio terendah yang dipekerjakan oleh warga negara Saudi. Organisasi yang berada dalam kategori Platinum dan Hijau dapat mengambil manfaat dari perlakuan imigrasi yang menguntungkan seperti jadwal pemrosesan aplikasi yang lebih pendek untuk karyawan asing yang naik kapal ke perusahaan mereka 2017.Sebagai tingkatan teratas, platinum memiliki akses yang lebih besar dalam memproses visa tanpa harus menunggu jangka waktu. Perusahaan di kelas ini juga dapat memperbarui iqama, yakni izin kerja dan kartu tempat tinggal yang diperlukan agar seorang pekerja asing dapat bekerja dan tinggal di Arab Saudi. Pekerja asing yang telah memiliki iqama memiliki kesempatan untuk dipekerjakan oleh perusahaan yang telah diakui kelasnya dalam Nitaqat, dalam jangka waktu tertentu. Durasi izin kerja bagi tiap individu pun beragam karena mengacu kepada keputusan dari pemerintah langsung. Namun pada umumnya validitas izin kerja dikeluarkan untuk durasi satu tahun, sementara untuk perpanjangan durasi dapat dilakukan pembaruan sesudahnya velocityglobal, 2018.Sejak 3 September 2017, Arab Saudi memberlakukan aturan agar semua perusahaan yang sedang mempertimbangkan untuk memperluas operasi atau tenaga kerja mereka di Arab Saudi disarankan untuk meninjau kembali kategori Nitaqat mereka dan mengevaluasi perencanaan tenaga kerja mereka agar selaras dengan dorongan Saudisasi. Semua pengusaha tersebut disarankan untuk 172 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 173Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019172 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 173Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab1. Meninjau proses SDM internal, untuk memastikan bahwa prosedur rekrutmen dan imigrasi mereka memungkinkan pelaksanaan reformasi Nitaqat ini dengan Merancang dan mengimplementasikan program magang dan pelatihan untuk kaum pribumi Saudi dalam rangka memenuhi program training wajib yang disebut Sai.3. Menerapkan prosedur perencanaan tenaga kerja untuk memastikan kebutuhan tenaga kerja organisasi selaras dengan tujuan nasionalisasi Merancang strategi organisasi untuk menarik dan mempertahankan warga negara Menerapkan proses pemeriksaan kesehatan untuk memastikan kesiapan pekerja dalam memenuhi peraturan pasar tenaga kerja Meninjau struktur penugasan dan memastikan rencana sumber daya dibuat untuk memenuhi strategi keseluruhan Meninjau semua posisi penting untuk mengembangkan rencana suksesi untuk melatih penggantian tenaga kerja nasional pribumi dalam jangka menengah hingga Memperkuat proses pembinaan dan pengembangan untuk mendukung warga negara Mengembangkan kemitraan dan kolaborasi dengan universitas dan akademi pelatihan untuk memfasilitasi magang dan pelatihan 2017.Tabel 2. Perbandingan Kebijakan Ketenagakerjaan Arab Saudi dan Uni Emirat ArabNo Perbandingan Arab Saudi Uni Emirat Arab1 Nama Kebijakan Nitaqat Tawteen2 Tahun Berlaku 2011 20163 Sasaran Kebijakan Sektor privat dan pekerja Sektor privat dan pekerja4 Pembuat Kebijakan Kementerian Tena-ga Kerja dan Pem-bangunan Sosial Arab SaudiKementerian Sumber Daya Manusia dan Emiratisasi Sumber Alshanbri 2014, 2019 174 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 175Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019174 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 175Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabKebijakan Ketenagakerjaan di Uni Emirat ArabKebijakan Nitaqat yang diberlakukan Arab Saudi menginspirasi Uni Emirat Arab UEA untuk membuat kebijakan dengan tajuk Emiratisasi yang diperinci dalam kebijakan Tawteen. Kebijakan Tawteen lahir dari kondisi di UEA yang mendorong negara untuk melakukan inovasi agar dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi warga Emirat serta menjaga keberlangsungan pembangunan sesuai dengan kebutuhan Emirat. Kebijakan ini memiliki tujuan spesik yang di antaranya mengatur urusan bisnis atau perburuhan, menyediakan layanan yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan pengguna sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, serta mengelola pasar bisnis dengan melayani dan mendukung hubungan kerja di tingkat internasional United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation b, 2018.Pengembangan ekonomi negara yang dilakukan UAE segera dimulai sejak mereka meraih kemerdekaan tahun 1971. UAE menyadari bahwa sesungguhnya negara memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan segera memperbaiki infrastruktur ekonomi-sosial yang justru lebih menyerap tenaga kerja asing daripada merekrut warga Emirat itu sendiri Halliday, 1977. Meningkatnya infrastruktur yang dimiliki UEA disusul oleh datangnya sektor swasta untuk beroperasi di dalam negeri. Namun pada saat itu negara masih tergolong ramah bisnis’, yang terealisasi dalam bentuk tidak adanya upah minimum, tidak ada serikat pekerja, dan pemberian wewenang dan kemudahan dalam merekrut dan memberhentikan pekerja Forstenlechner, Madi, Selim, & Rutledge, 20112. Atas dasar kondisi itu, sektor swasta menjadi lebih berminat untuk mempekerjakan warga negara asing karena mereka mau diupah murah oleh perusahaan. Hal ini membuat arus tenaga kerja asing yang masuk ke UEA kian meningkat, terutama setelah dibukanya akses pekerjaan dari program peningkatan infrastruktur dengan Arab Saudi yang sudah memulai langkahnya untuk kebijakan ketenagakerjaan pada pertengahan tahun 90-an, Uni Emirat Arab justru baru dapat memulainya pada tahun 2006 dengan mengeluarkan kebijakan yang mengatur ketenagakerjaan asing mereka dalam Ministerial Decision No. 286 dengan nama kebijakan Regarding the Balance of Nationalisation Quotas for Private Sector Establishments. Kebijakan yang ada masih berupa gagasan awal bagi kuota pekerja di sektor privat dengan mengharuskan perusahaan untuk menyelesaikan seluruh prosedur untuk legalisasi kelompok kerja sebagai prasyarat. Hal tersebut nantinya akan berguna bagi perusahaan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan untuk 174 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 175Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019174 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 175Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmenerima tenaga kerja asing sebagai pekerjanya. Kebijakan ini sudah mulai mengatur persoalan upah yang akan diterima pekerjanya dengan berdasarkan status pendidikan terakhir yang dimiliki oleh tiap individu. Bagi pekerja yang menempuh pendidikan terakhir lebih dari jenjang sekolah menengah atas dapat menerima upah dengan jumlah 5000 dirham atau sekitar 12 juta rupiah jika dikonversikan pada tahun yang sama. Disusul dengan 4000 dirham untuk pemegang ijazah sekolah menengah atas dan 3000 dirham untuk yang tidak memiliki ijazah di tingkat yang setara Ministry of Labour of United Arab Emirates a, 2006.Kebijakan Ministerial Decree 92 of 2006 yang berjudul Rules and Conditions for the Termination of Employment Relations memberikan keleluasaan bagi perusahaan yang telah mempekerjakan 100 pekerja atau lebih untuk mengganti pekerjanya tanpa melalui Work Permit Committees atau Komite Izin Kerja. Namun perusahaan hanya dapat mengganti individu dari pekerjanya dengan individu yang berkebangsaan, jenis kelamin, dan ranah profesi yang sama. Masih dengan kebijakan yang sama, kebijakan tertuju kepada perusahaan yang mempekerjakan 100 pekerja atau lebih serta mampu mematuhi ketentuan yang telah dibuat dalam pasal ini, maka mereka dapat mengajukan perizinan untuk menggantikan pekerja Ministry of Labour of United Arab Emirates b, 2006. Berbeda dengan dua kebijakan sebelumnya, Ministerial Resolution No. 1283 of 2010 dengan judul Regarding the Licensing and Regulation of Private Recruitment Agencies yang dikeluarkan pada 23 Desember 2010, justru lebih berfokus kepada penyalur tenaga kerja asing yang umumnya berbentuk lembaga atau biro jasa yang diperketat dengan mengharuskan mereka untuk mengantongi izin dari Pemerintah Emirat untuk beroperasi. Perusahaan kembali disorot dalam kebijakan ini untuk membayarkan upah pekerjanya melalui lembaga-lembaga penyalur pekerja mereka kepada individu pekerja yang bersangkutan. Kedua poin tersebut bertujuan untuk menciptakan biro jasa tersebut untuk menjadi jembatan antara individu yang menjadi pekerja dan perusahaan yang menaunginya Ministry of Labour of United Arab Emirates c, 2010.Selanjutnya, pada tahun 2015, Pemerintah Emirat di bawah Kementerian Sumber Daya Manusia dan Emiratisasi mengeluarkan tiga ministerial decree sebagai bentuk penyempurnaan dari kebijakan yang telah dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya sebelum disahkan pada tanggal yang berbeda di tahun 2016. Dimulai dari Ministerial Decree 764 of 2015 dalam judul Approved Standard Employment Contracts yang kemudian baru disahkan pada 27 September 2016. Isi dari kebijakan ini diantaranya untuk memperkenalkan standar perjanjian dasar pekerjaan yang nantinya akan diadopsi sebagai Standar Kontrak Kerja Standard Employment 176 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 177Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019176 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 177Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabContract. Perusahaan dapat menerima persetujuan sementara untuk menerima pekerja asing tidak dapat diberikan kesempatan kerja hingga Standar Kontrak Kerja ditandatangani oleh pekerja yang bersangkutan sebelum perusahaan atau instansi yang menaunginya dapat mulai mempekerjakannya Ministry of Labour of United Arab Emirates d, 2015.Selanjutnya dalam Ministerial Decree 765 of 2015 yang berjudul Rules and Conditions for the Termination of Employment Relations, berisi tentang amandemen dari ketentuan undang-undang ketenagakerjaan perihal pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan mengatur tentang bagaimana kedua pihak untuk mengakhiri kontrak dan kesepakatan rugi yang harus dibayarkan salah satu pihak mana yang lebih dulu mengakhiri periode kerja, dengan tujuan untuk melindungi kedua pihak dari lepasnya tanggungjawab salah satu pihak akan kontrak yang mengikat mereka dalam ranah dunia kerja. Apabila kemudian perusahaan ingin merekrut pekerja asing yang baru, perusahaan itu membutuhkan pengajuan izin kerja baru yang hanya akan dapat diterima bila memenuhi serangkaian ketentuan yang berlaku. Sebagai bentuk perlindungan terhadap kelompok pekerja, mereka diberikan kesempatan untuk mengajukan pengaduan pengadilan terhadap perusahaan terkait yang tidak dapat memberikan mereka pekerjaan sebagaimana mestinya dan hak atas upah akibat pailitnya perusahaan Ministry of Labour of United Arab Emirates e, 2015. Selanjutnya pemerintah UAE melakukan penyempurnaan pada kebijakan sebelumnya yang masih memiliki cakupan serupa namun dengan perluasan sasaran kebijakan. Dalam Ministerial Decree 766 of 2015 yang berjudul Rules and Conditions for Granting a Permit To a Worker for Employment by a New Employer, masih terdapat pembahasan yang berfokus kepada hak pekerja dalam menuntut perusahaan ke pengadilan, apabila mereka belum mendapatkan upah kurang dari dua bulan. Dikeluarkan pada tanggal 1 Januari 2016, kebijakan ini juga mencantumkan hal kontrak yang bersinggungan dengan durasi dan konsekuensi yang ditanggung salah satu pihak apabila jika ada yang menginisiasi pengurangan durasi kontrak kerja. Jika perusahaan yang melakukan pengurangan durasi, perusahaanlah yang harus menanggung kerugian yang dialami pekerja atas kondisi yang tidak sesuai kontrak, dan begitupun sebaliknya apabila pekerjanya yang memutus kontrak terlebih dahulu Ministry of Labour of United Arab Emirates f, 2015. 176 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 177Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019176 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 177Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabTabel 3. Range TawteenSumber Gulf News 2019; UAE Ministry of Human Resources & Emiratisation 2019Lain halnya dengan Nitaqat yang memulai persentase dari penduduk lokal untuk bekerja di sebuah perusahaan dengan angka lebih dari 40%, Tawteen justru memulainya dari angka 12%. Kelas platinum atau kelas teratas dari range Tawteen ini menempati kelas 1 yang disertakan dengan berbagai benet. Di antaranya, memungkinkan perusahaan untuk memulihkan pinjaman banknya saat memberikan asurasi kepada seluruh pegawai perusahaan, yang mana nantinya akan mempermudah perusahaan untuk mengolah aliran modal dan kebutuhan untuk membayar upah pekerjanya. Kelas ini dapat merekrut pegawai baru dengan membayar izin kerja seperti yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan dapat mengakses fasilitas red carpet. Namun sebenarnya, seluruh kelas bahkan termasuk kelas terendah yaitu red, juga dapat mengakses fasilitas red carpet. Fasilitas ini bertujuan untuk menjembatani perusahaan dengan Kementerian Sumber Daya Manusia dan Emiratisasi dalam urusan ketenagakerjaan. Adapun benet lainnya, Fast Kelas Kuota Izin Kerja Rekrutmen Red CarpetPlati-num>12% pekerja EmiratDapat mem-perbarui/ mengeluarkan izin kerjaDapat merekrut pegawai dengan membayar izin kerjaDapat mengakses fasil-itas red carpetGold >8% peker-ja EmiratDapat mem-perbarui/ mengeluarkan izin kerjaDapat merekrut pegawai dengan membayar izin kerja dengan tarif platinumDapat mengakses fasil-itas red carpetSilver >4% peker-ja EmiratDapat mem-perbarui/ mengeluarkan izin kerjaDapat merekrut pegawai dengan membayar izin kerja dengan tarif platinumDapat mengakses fasil-itas red carpetBronze 0% pekerja EmiratTidak dapat memproses visaTidak dapat men-gakses izin kerja yang baruDapat mengakses fasil-itas red carpet 178 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 179Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019178 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 179Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabTrade Service yang berprioritas terhadap perusahaan dalam memberikan pelayanan terkait ketenagakerjaan. Dalam prosesnya, kementerian akan menunjuk pihak ketiga untuk menjadi konsultan bisnis dan hukum bagi perusahaan United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation c, 2019. Hal yang menjadi pembeda di antara kelas-kelas yang tersedia adalah kemampuan perusahaan untuk merekrut pegawai dengan membayar izin kerja namun harus disetarakan tarifnya dengan kelas Platinum yang diketahui sebagai kelas teratas dalam Tawteen lahir dari keinginan pemerintah UEA untuk mendorong terbukanya lapangan pekerjaan bagi warga Emirat serta menjaga keberlangsungan pembangunan untuk tetap berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan Emirat. Adapun kebijakan ini pula memiliki tujuan spesik yang di antaranya untuk mengatur urusan bisnis atau perburuhan, menyediakan layanan yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan pengguna sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, serta mengelola pasar bisnis dengan melayani dan mendukung hubungan kerja di tingkat internasional United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation b, 2018. Kebijakan ini bermuara kepada penciptaan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi warga Emirat agar tidak didominasi oleh pekerja asing dan menciptakan perekonomian yang melindungi pekerja lokal serta perusahaan atau instansi terkait, yang berkemauan untuk mempekerjakan warga negara asli dengan Arab Saudi yang tidak memiliki wilayah federal, UEA terbantu oleh peran negara-negara federalnya untuk bersinergi menjalankan kebijakan ketenagakerjaan. Wilayah di bawah kekuasaan UEA, seperti Abu Dhabi dan Dubai, memberikan bantuan akses pendidikan yang luas Abu Dhabi Government a. 2019. Kedua wilayah ini juga memiliki kebijakan ketenagakerjaan dari sektor pendidikan yang akan dapat memperkuat Uni Emirat Arab dalam menjalankan pembangunan berkelanjutan mereka. Permasalahan yang timbul di Uni Emirat Arab bukan mengenai kritik perusahaan atau pekerja atas kebijakan yang ada, melainkan kurangnya kualitas pendidikan dan partisipasi dari warga Emirat untuk memanfaatkan kebijakan Tawteen yang dirilis oleh pemerintah UEA. Sebagai contoh, sekitar 80% pelajar di UEA mengambil perkuliahan dengan jurusan yang berfokus kepada rumpun humaniora, sementara pembangunan di UEA berfokus kepada pengembangan rumpun sains sebagai peningkatan sektor teknik dan minyak mereka The Economist, 2013. Selain itu, tuntutan dari masyarakat Emirat untuk mendapatkan pekerjaan masih minim karena 178 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 179Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019178 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 179Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmereka sendiri merasa terpenuhi kebutuhannya oleh subsidi pemerintah, bahkan negara tidak menarik pajak dan memberikan dana bagi keberlangsungan hidup warga negaranya. Kehadiran partai politik di kedua negara ini juga tidak berperan besar, mengingat baik Arab Saudi maupun UEA adalah negara kerajaan yang tidak melegalkan peran partai politik dan partisipasinya, melainkan oleh kerajaan-kerajaan kecil maupun keluarga yang telah memiliki pengaruh kuat terhadap pemerintahan yang berlangsung 2018; 2019. KesimpulanKebijakan Nitaqat dan Tawteen merupakan dua kebijakan yang merupakan hasil dari keinginan negara-negara tersebut untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Kebijakan Nitaqat sejalan dengan Saudi Vision 2030 yang menjadi pilar penting dalam program pembangunan yang dimiliki oleh Pemerintah, yakni memberi peluang bagi warga negara Saudi untuk mendapatkan pekerjaan di dalam negeri. Sementara itu, kebijakan Tawteen lahir dari kondisi UEA yang mendorong negara untuk melakukan dalam rangka untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga Emirat dan menjaga keberlangsungan pembangunan sesuai dengan kebutuhan Emirat. Dalam praktiknya, kedua kebijakan ini memiliki perbedaan dalam implementasi dan mendapatkan reaksi yang beragam dari perusahaan-perusahaan yang ada di kedua PustakaAbu Dhabi Government a. 2019. Emiratisation Programmes and Initiatives in Abu Dhabi. [online] Dalam [Diakses 4 Sep 2019].Al-Asmari, 2008. Saudi labor Force Challenges and Ambitions. JKAU Arts & Humanities, 162, N. 2014. Nitaqat Program in Saudi Arabia. International Journal of Innovative Research in Advanced Engineering IJIRAE, 110, F. D a. 2018. Demography, Migration, and the Labour Market in the UAE Gulf Labour Markets and Migration [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019]. 180 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 181Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019180 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 181Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabBel-Air, F. D b. 2018. Demography, Migration, and the Labour Market in Saudi Arabia. Gulf Labour Markets and Migration [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019].Central Intelligence Agency CIA. 2018. The World Factbook. Country Comparison Crude Oil. [online] Dalam [Diakses 20 Februari 2019].Cordesman, 2003. Saudi Arabia Enters the 21st Century. California Greenwood Publishing 2017. Saudi Arabia revises Nitaqat system and introduces mandatory Sai program as part of its Saudization drive. [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019]. 2018. Governance & Politics of UAE. [online] Dalam [Diakses 14 Nov 2019]. 2019. Governance & Politics of Saudi Arabia. [online] Dalam [Diakses 14 Nov 2019].Focus Migration. 2012. The Gulf Cooperation Council States GCC. [online] Dalam [Diakses 21 Juni 2019].Forstenlechner, I., Madi, Selim, dan Rutledge, 2011. Emiratisation determining the factors that inuence the recruitment decisions of employers in the UAE. The International Journal of Human Resource Management, 2019. Vision 2021 and Emiratisation. [online] Dalam [Diakses 17 April 2019].Gulf News. 2019. Work Permit Cost Cut for Some Companies, Says Ministry. [online]. Dalam [Diakses 25 September 2019]. 180 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 181Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019180 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 181Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabHalliday, F. 1977. Labor Migration in the Middle East Documents, Israeli Settlements. Middle East Research and Information Project Reports, 59, 1, 3– Jr, dan Al Youha, A. 2013. Labor Migration In The United Arab Emirates Challenges and Responses. Migration Policy, [online]. Dalam [Diakses 21 Okt 2019].Mas’oed, M., dan MacAndrews, C. 1991. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta Gadjah Mada University of Labor & Social Development. Unied Guidelines of Nitaqat Program. Jetro, [online]. Dalam [Diakses 26 Sep 2019].Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia a. 1994. Council of Ministers Decision No. 50 of 1994 on Saudisation. [online]. Dalam [Diakses 16 Juli 2019].Ministry of Labour of Kingdom of Saudi Arabia b. 2011. Saudi Arabia Ministerial Decision No. 4040 adopting Nitaqat Program. [online]. Dalam [Diakses 15 Maret 2019].Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia c. 2011. Ministerial Decision No. 1/4687. [online]. Dalam [Diakses 16 Juli 2019].Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia d. 2012. Ministerial Decision No. 1/5024. [online]. Dalam [Diakses 16 Juli 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates a. 2006. Ministerial Decision No. 286 of 2006 Regarding the Balance of Nationalisation Quotas for Private Sector Establishments. [online]. Dalam [Diakses 17 Juli 2019]. 182 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 183Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019182 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 183Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabMinistry of Labour of United Arab Emirates b. 2006. Ministerial Decision No. 92 of 2006. [online]. Dalam [Diakses 17 Juli 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates c. 2010. Ministerial Resolution No. 1283 of 2010 Regarding the Licensing and Regulation of Private Recruitment Agencies. [online]. Dalam [Diakses 17 Juli 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates d. 2015. Minister of Labour’s decree 764 of 2015. [online]. Dalam [Diakses 27 Juni 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates e. 2015. Minister of Labour’s decree 765 of 2015. [online]. Dalam [Diakses 27 Juni 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates f. 2015. Minister of Labour’s decree 766 of 2015. [online]. Dalam [Diakses 27 Juni 2019].Momami, B. 2008. GCC Oil Exporters and the Future of Dollar. New Political Economy, 133, D. 2018. National Visions as Instrument of Soft-Power in the Gulf Region The Case of The UAE and its “Vision 2021”. Academia, [online]. Dalam [Diakses 23 Sep 2019].Newton, K., dan Deth, 2016. Perbandingan Sistem Politik. Bandung Penerbit Nusa M. 2018. Saudi Arabia’s Vision 2030’ Will It Save Or Sink the Middle East. E-International Relations, [online] Dalam [Diakses 15 Sep 2019].Peck, J. R. 2017. Can Hiring Quotas Work? The Eect of the Nitaqat Program on the Saudi Private Sector. American Economic Journal Economic Policy, 92, 316-347. 182 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 183Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019182 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 183Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabRanderee, Kasim. 2012. Workforce Nationalizaion in the Gulf Cooperation Council States. Academia, [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019].Simmons, 2005. Twilight In The Desert The Coming Oil Saudi Shock and The World Economy. New Jersey John Wiley & Sons, P. 2016. Economic Reform in the GCC Privatization as a Panacea for Declining Oil Wealth?. Chathamhouse, [online] Dalam [Diakses 3 Sep 2019].Stevens, Paul. 2016. Economic Reform in the GCC Privatization as a Panacea for Declining Oil Wealth?. Chathamhouse, [online] Dalam [Diakses 3 Sep 2019].The Economist. 2013. Impediments to Emiratisation. [online] Dalam [Diakses 14 Nov 2019].UN DESA. 2017. International Migration Report 2017. [online] Dalam [Diakses 17 April 2019].United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation a. 2019. Tawteen Partners Club. [online]. Dalam [Diakses 25 September 2019].United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation b. 2018. About Us. [online] Dalam [Diakses 25 Sep 2019].United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation c. 2019. Tawteen Partners Club. [online] Dalam [Diakses 25 Sep 2019].Velocity Global. 2018. Iqama Basics What You Need to Know. [online] Dalam [Diakses 25 Sep 2019].Wynbrandt, J. 2014. A Brief History of Saudi Arabia. New York Infobase Publishing. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Malit, Jr Ali Al YouhaDrawing from policy reports and interviews with UAE policymakers, this article examines the economic, social, and political challenges and implications of the Kafala system for the UAE government, Emirati nationals, and migrant workers in the Arab Gulf's labour market is being overhauled. The private sector is increasingly being obliged’ to more actively support nationalisation programmes. This study seeks to quantitatively determine the recruitment decisions of the employers. We collated the views of just under 250 UAE-based HRM personnel, in order to identify which factors social, cultural, economic, regulatory, educational and motivational are most significant as cited in the relevant literature. Not having the necessary educational qualifications and high reservation wage demands were found to have less of a bearing than does the perceived lack of vocationally orientated motivation and the ambiguities over the differing rights afforded to R. PeckThis paper studies the effects of quota-based labor regulations on firms in the context of Saudi Arabia's Nitaqat program, which imposed quotas for Saudi hiring at private firms. I use a comprehensive firmlevel administrative dataset and exploit kinks in hiring incentives generated by the quotas to estimate the effects of this policy. I find that the program increased native employment at substantial cost to firms, as demonstrated by increasing exit rates and decreasing total employment at surviving firms. Firms without any Saudi employees at the onset of the program appear to bear most of these R. SimmonsSe analiza en esta obra las condiciones de exploración y producción petrolera de Arabia Saudita. Incluye un desarrollo histórico de este país que emergió como un gigante en el desierto con sus campos petroleros y su impacto en la economía mundial por la demanda de petróleo, ya que es uno de los mayores productores con una producción de 20 a 25 millones de barriles diarios y se asume que así será en dos décadas más. Con sus reservas petroleras este país impacta la economía global al menos hasta el año World Factbook. Country Comparison Crude OilCentral Intelligence Agency CIA. 2018. The World Factbook. Country Comparison Crude Oil. [online] Dalam [Diakses 20 Februari 2019].Saudi Arabia Enters the 21st CenturyA H CordesmanCordesman, 2003. Saudi Arabia Enters the 21st Century. California Greenwood Publishing & Politics of 2018. Governance & Politics of UAE. [online] Dalam united-arab-emirates/governance-and-politics-of-uae/ [Diakses 14 Nov 2019].Governance & Politics of Saudi 2019. Governance & Politics of Saudi Arabia. [online] Dalam https// [Diakses 14 Nov 2019].
America needs more what policymakers seem to have decided, from the White House to Capitol Hill. Congress spent November considering the Child Tax Credit, a measure that reduces the federal income taxes owed by families with kids. The Senate and the House both voted to raise the credit in their recent tax bills, which will soon be reconciled. Meanwhile, two Democratic senators, Michael Bennet and Sherrod Brown, proposed their own version of an increase. And led by Ivanka Trump, the Trump administration has been softly pushing a child-care tax deduction and federal paid-maternity-leave ReadingThese programs have been sold as ways to support struggling middle-class families, but they also address another issue declining birth rates. Government data suggests the has experienced drops in fertility across multiple measures in recent years. Even Hispanic Americans, who have had high fertility rates compared to other ethnic groups in recent decades, are starting to have fewer babies. Lyman Stone, an economist at the Department of Agriculture who blogs about fertility in his spare time, called this year’s downward fertility trend “the great baby bust of 2017.”These are the seeds of a nascent pro-natalist movement, a revived push to organize American public policy around childbearing. While putatively pro-family or pro-child policymaking has a long history in the the latest push has a new face. It’s more Gen X than Baby Boom. It’s pro-working mom. And it upends typical left-right political valences Measures like the Child Tax Credit find surprising bipartisan support in Congress. Over the last year or so, the window of possibility for pro-natalist policies has so, proponents of child-friendly policies, left and right, are deeply skeptical that the government will prove willing to put family at the center of its laws—or that the government can change current birth-rate trends. Ultimately, a shared cultural commitment to the importance of children is the factor that will determine America’s baby-making the developed world, birth rates are below replacement level, meaning women don’t have enough children to replenish the population. Pro-natalists argue that this will have devastating consequences. By contrast, they say, having kids has lots of upsides. “People want it. Society needs it. We want the economy to grow,” said Stone said in an least in Europe and the birth rates tend to lag behind what women desire. According to data reported by the Pew Research Center in 2014, 40 percent of American women approaching the end of their childbearing years say they have fewer kids than they had argument that having more kids is good for society is a little bit trickier. Some environmentalists argue that population control is key to protecting the earth’s resources. Others say a childless lifestyle might be preferable to the life of a parent. Some philosophers even argue that it’s immoral to have kids at say societal well-being—and democracy itself—depend on Americans’ willingness to procreate. “It’s not that common that love is a policy argument,” Stone said. But “the most important part of human well-being is family.” And “that’s not a subjective statement,” he added. “That’s an objective one” supported by public-health Last, The Weekly Standard’s digital editor and author of What to Expect When No One’s Expecting, takes a more somber view If people in authoritarian societies have more children than citizens of liberal democracies, “over the long haul, those people inherit the earth,” he said. The economics of a shrinking global population could lead to chaos and desperate political acts, he predicted “In the course of the next 50 or 100 years, you could wind up in a world that is unstable and unpleasant and illiberal.”The economic case for more babies is fairly straightforward More workers presumably yield more productivity. As Stone said, “There is no economy that has managed to knock out gangbuster growth with a declining population.” And a wild imbalance between populations of the non-working elderly and strapping young people can wreak havoc “As governments raise taxes on a dwindling working-age population to cover the growing burdens of supporting the elderly,” wrote the journalist Phillip Longman in a 2006 essay for Foreign Policy, “young couples may conclude they are even less able to afford children than their parents were.”Stone tossed in a final reason for society to support baby-making “The history of humanity is long, and it rarely goes a century without a major war. You need warm bodies to fill the uniforms,” he said. This isn’t the most common justification for pro-natalism, he admitted—it’s “the one that gets me teased the most.”Pro-natalism sometimes has dark undertones. Steve King, the Iowa Republican lawmaker, has spoken about the need to “restore our civilization”; in March, he tweeted support for the far-right Dutch politician Geert Wilders, who, King said, understood “that culture and demographics are our destiny” and can’t be restored “with somebody else’s babies.” In fringe alt-right internet circles, a controversial Mormon blogger issued a “white-baby challenge” to grow the white population in the Lovett, a historian at the University of Massachusetts Amherst, sees parallels between today’s worries around demographic change and the eugenics movement of the 1920s and ’30s. Fear about women going to college and not having as many children was coupled with an anti-immigrant anxiety, similar to what some on the right feel today, she said. Eugenicists promoted a “four-child norm” among native-born, white members of the middle class, “which really becomes the normative size of American families after the Second World War,” she the most part, these populist voices on the right have not been leading the recent pro-natalist wave. Ross Douthat, a columnist at The New York Times, recently tweeted his frustration that pro-Trump politicians like King and the former White House adviser Steve Bannon don’t seem to care about policies like the Child Tax Credit. “I want them to stop and think about why populist movements elsewhere in the West actually try to have a pro-family policy agenda to match their demographic worries,” he wrote, “while American right-populism still lets Wall Street write its economic policy.”His complaint gets at one of the central political problems facing pro-natalism It often sits in tension with ardently free-market conservatism. “Chamber of Commerce-type Republicans … don’t care at all about that stuff,” said Last. “This is one of those real conflicts between what the market wants … and the things that society needs.” If all someone cares about is free markets, he added, “it’s very hard to find a way to effectively place value on things like the creation of new workers 30 years from now. It’s just too long-term.”Even though Congress will almost certainly raise the Child Tax Credit in its final overhaul bill, benefits to low- and middle-income families will likely end up limited, in part because of Republicans’ dislike of entitlement spending. The credit is currently structured as a tax reduction Families that pay federal income taxes get a discount for each kid they have. But for almost half of Americans—including low- and middle-income workers who don’t make enough to owe federal income taxes—the benefit is significantly less. For people who don’t work or make less than $3,000, it doesn’t apply at imbalance would be exacerbated by the House and Senate proposals. Currently, the Child Tax Credit for jointly filing married couples is capped at $110,000; for families who make more than that, it’s reduced. Both chambers’ plans raise that cap significantly; the Senate bill places the threshold at $500,000. Senators Marco Rubio of Florida and Mike Lee of Utah pushed to make the credit refundable against payroll taxes, which would make it more beneficial to working-class families. Their efforts got little traction and quietly failed as the Senate passed its bill late last week. Douthat called it “a lonely battle for a pittance of a refundable tax credit for American families in the midst of a baby bust,” which “nobody in professional populist conservatism seems interested in making … a cause célèbre.”There are a few exceptions, of course. Ivanka Trump has crisscrossed Capitol Hill advocating for her child-care policies and has spoken on these issues around the country, arguing that changing demographics and family structures warrant a tax-code overhaul. Child-friendly policies fit nicely with her personal brand—her latest book, Women Who Work, encourages women to reach the heights of both the professional world and maternal yet, Ivanka Trump’s rehabilitation of the working mom doesn’t seem quite right, said Elizabeth Ananat, an associate professor at Duke who is affiliated with its Center for Child and Family Policy. “Her notion [is] that the working woman was a rundown, unglamorous service worker … and is now a curated, beautiful, successful, glamorous person,” she said. “It’s a very aspirational image—which isn’t necessarily bad, to have glamour. But that is not the typical working mom.” Ivanka’s policies on paid maternal leave and child care share a similarly miscalibrated view of the average family, Ananat argued Their structure means “it would be a lot of money to each family like hers.”Debate about family-friendly policymaking is very much happening on conservative terms. Today’s policy proposals are a far cry from the 1970s, when a comprehensive child-care program almost became law, but was vetoed by President Nixon. Over the past four decades, policymaking has shifted away from government-provided services toward a model that privileges workers and work-based benefits, Lovett said. “It’s about determining that we’re not going to provide the services. We’re going to provide services only through employment.”Still, Ivanka Trump has managed to expand this conservative debate around child-centered policies. Paid leave “has not been completely within the conversation in a lot of Republican circles for quite a while,” said Angela Rachidi, a research fellow at the American Enterprise Institute. “Even today, had it not been for proposals around paid leave from the Trump campaign … I’m not sure necessarily there would be the same conversation that we’re having right now.”For all the debate over the Child Tax Credit and paid family leave, governments that have pursued such approaches before have had mixed success trying to boost fertility with cash. These policies may make it slightly easier to be a parent and help women stay in the labor force, but it’s not clear that they’ll lead to more babies. In reality, attitudes about family size are “80 percent culture, 90 percent culture,” said Last. “Why do we spend all of our time talking about the policy end of it? You’re sitting at a control panel, and there are buttons for policy. There are no buttons for culture.”Recent television shows and movies like The Handmaid’s Tale and Children of Men show how powerfully massive birth-rate drops grip the popular imagination In both cases, biologically and environmentally driven infertility lead to political chaos. But in America’s case, the causes of infertility seem less biological than are so many possible explanations for why Americans are having fewer kids, said Last. For one, declining religiosity might mean fewer people feel drawn to have a bigger family. “My Mormon friends are all having kids. They’re doing fine,” he said. “It’s my NPR-listening liberal friends who don’t have kids.” Millennials hit hard by the recession might also lack the cash to support a child. People may have trouble finding long-term partners, or they may just think having a kid wouldn’t fit with their personal lives. This is what makes pro-natalism so tough It’s hard to think of a comprehensive solution to such a multi-faceted, diffuse that’s left for earnest demographers to do, perhaps, is evangelize. “I tell people, You know, get married, make sure you love your partner,’” said Last. “And then go have too much to drink and make bad decisions.’”
- Perkenalkan Raphael Samuel. Bukan, dia bukan Raphael Samuel yang sejarawan Marxis asal Inggris itu. Raphael Samuel yang ini adalah seorang laki-laki berusia 27 tahun asal Mumbai, India, yang menyesal karena telah dilahirkan. Sebab itu, Samuel berniat menuntut orangtuanya karena telah "melahirkannya" tanpa persetujuan darinya. Ajaib sekali, bukan?Hidup Samuel sebetulnya baik-baik saja, bahkan terbilang "luar biasa"-menurut pengakuannya sendiri. Namun demikian, Samuel masih tak dapat benar-benar memahami mengapa di dunia ini ia harus menjalani kehidupan penuh pergolakan. Mulai sejak di sekolah hingga bersusah payah membangun karier. "Saya mencintai orangtua saya, dan kami memiliki hubungan yang hebat, tetapi mereka memiliki saya hanya untuk kesenangan mereka. Hidup saya luar biasa, tetapi saya tidak melihat mengapa saya harus menjalani kehidupan ini. Padahal saya tak meminta semua itu saat dilahirkan oleh ibu. Artinya, ini adalah kesalahan,” ucap Samuel seperti dilansir Times of adalah seorang penganut anti-natalisme. Mengacu pada forum Reddit, /r/antinatalism, kaum anti-natalis adalah mereka yang "memberi cap negatif pada proses kelahiran manusia". Keyakinan itu muncul karena mereka percaya bahwa dunia ini sudah kelewat penuh dengan penderitaan. Karenanya, mereka berpandangan bahwa membiarkan seorang anak lahir dan memaksanya hidup dalam dunia sudah rusak ini merupakan sebuah tindakan imoral. "Saya ingin memberi tahu semua anak bahwa mereka tidak berutang apapun kepada orangtua mereka. Orang-orang India lainnya harus tahu bahwa itu adalah pilihan untuk tidak memiliki anak, dan untuk bertanya kepada orangtua Anda mengapa mereka melahirkan Anda.”pada prinsipnya, mereka menilai eksistensi sebagai suatu hal yang burukBerkunjunglah ke laman Facebook Samuel-tidak sulit mencarinya, cukup ketik saja nama lengkapnya di fitur pencarian-, maka Anda akan melihat berbagai statusnya yang berisi informasi seputar anti-natalisme. Ia cukup rutin membagikan pesan-pesan berbau anti-prokreasi untuk “menyadarkan” teman-temannya di Facebook. Atau simak videonya di Youtube yang berjudul Why Am I Suing My Parents?’.Beberapa pesan tersebut mencakup “Bukankah memaksa anak mendapatkan pekerjaan yang layak sama saja seperti penculikan atau perbudakan?” Atau “Orangtua kalian memilih menjadikan kalian sebagai mainan, dibanding memiliki seekor anjing atau mainan sungguhan. Kalian tidak berutang apapun kepada mereka.” Tinjauan Filsafat dalam Anti-Natalisme Jika ditafsirkan secara ekstrem, mayoritas kaum anti-natalis dapat dianggap mendukung pemusnahan manusia. Sebab pada prinsipnya, mereka menilai eksistensi sebagai suatu hal yang buruk. Pandangan mengenai problematika eksistensi sejatinya tidak baru-baru amat, terutama dalam spektrum menganggap bahwa kehidupan manusia adalah absurditas tak berujung tanpa tujuan akhir dan berarti. Dalam The Myth of Sisyphus, ia menggunakan alegori Sisyphus untuk menggambarkan absurditas tersebut. Sebagaimana diceritakan dalam mitologi Yunani kuno, Sisyphus dikutuk oleh Zeus untuk mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit untuk kemudian menggelinding kembali ke Camus, alegori tersebut membuhulkan sebuah faktum kesia-siaan kondisi umat manusia jika dilihat dari perspektif semesta. Sebab, jika semua manusia pada akhirnya akan sirna, begitu juga dengan semesta, lantas apa makna segala projek kehidupan yang selama ini telah dikerjakan? Ketidakbermaknaan hidup inilah yang terus menerus dibayangkan Camus dan kerap disimpulkan oleh banyak orang sebagai anjuran untuk bunuh lebih konkret mengenai eksistensi juga menjadi fondasi filsafat pesimisme Arthur Schopenhauer. Menurutnya, eksistensi adalah suatu hal yang buruk dan penuh kekejaman. Dalam On the Vanity and Suffering of Life, ia menggemakan pandangannya dengan lebih suram “Life is a business that does not cover the costs.”- Hidup merupakan bisnis yang tidak menutup memandang, derita yang ada dalam kehidupan manusia melampaui kebahagiaan dan apa yang disebut sebagai kebahagiaan itu pun berarti tidak lebih dari lepasnya rasa sakit. Yang lebih buruk lagi, dunia ini fana alias hanya sementara, maka segala proyek dan tujuan akhirnya akan pudar dimakan waktu. Maka sebab itulah, Schopenhauer menilai semua penderitaan karena kehendak buta blind will manusia itu sendiri. Pun begitu, fondasi filsafat Schopenhauer tidaklah independen. Ia banyak terpengaruh oleh beberapa pemikir penting sebelumnya seperti Immnanuel Kant, Plato, dan Siddharta Gautama Buddha. Kepada Kant, ia mengelaborasikan pandangan metafisis. Dengan Plato, ia “meminjam” pemikirannya mengenai kesenian. Sedangkan pandangan mengenai kehidupan atau moralitas secara esensial banyak ia takik dari pemikiran memandang eksistensi sebagai suatu hal yang tidak memuaskan atau dalam istilahnya sendiri disebut “Dukkha”. Kendati manusia dapat tereinkarnasi menjadi makhluk yang lebih baik, namun tidak ada yang pernah betul-betul memuaskan. Sehingga menurut Buddha. tujuan sejati manusia adalah terbebas dari siklus reinkarnasi itu sendiri, di mana kemudian juga kerap ditafsirkan dengan anjuran untuk mati. Walau sesungguhnya kematian yang dikehendaki justru merupakan ketertundukkan kepada Camus, Schopenhauer, maupun Buddha tidak mengambil posisi eksplisit mengenai pro-kreasi, beberapa pemikir lain ada yang memproklamirkan diri sebagai anti-natalis. Kurnig, sebagai contoh, menulis dalam Der Ne-Nihilismus, bukunya yang terbit pada awal abad 20 sebelum Perang Dunia I dimulai “Saya menganggap kehidupan manusia sebagai sesuatu yang secara keseluruhan tidak menyenangkan, sebagai kemalangan. Orang yang belum lahir tidak akan memintanya. Saya tidak bisa hanya diam dan mengambil peran pasif kala menyaksikan kesengsaraan yang sangat buruk itu.”Demikian pula seperti nama-nama pemikir lain Peter Wessel Zapffe, Théophile de Giraud, Karim Akerma, hingga Thomas Ligotti. Para pemikir ini umumnya beranggapan bahwa membiarkan seseorang masuk ke dalam eksistensi yang buruk ini adalah suatu tindakan yang salah secara moral. Di antara sekian nama pemikir tersebut, ada David Benatar yang pemikirannya dalam buku berjudul Better Never to Have Been The Harm of Coming into Existence, kerap menjadi rujukan kaum anti-natalisme modern. Argumen utama Benatar adalah dengan menunjukkan bagaimana asimetri antara rasa sakit pain dan rasa nikmat pleasure. Secara garis besar, ia beranggapan bahwa anti-natalisme dapat mengurangi, bahkan “menghilangkan”, risiko penderitaan generasi selanjutnya. Maka dari itu, dengan mengatakan bahwa melahirkan merupakan “tindakan immoral yang tidak boleh dilakukan setiap manusia”, Benatar sejatinya tengah menggugah kesadaran manusia sebelum memutuskan memiliki anak. Namun demikian, Benatar tidak sepakat cara pembunuhan atau pembantaian demi mengurangi populasi. Hal itu menurutnya justru menambah 'penderitaan' manusia yang hidup saat ini. Satu-satunya opsi yang bisa dilakukan adalah dengan tidak melahirkan. Sebagaimana dikatakannya “Tidak mungkin sepenuhnya menghilangkan penderitaan manusia tanpa mengakhiri seluruh kehidupan manusia seperti yang kita ketahui. Tapi membunuh satu sama lain dan genosida hanya menambah penderitaan. Kita harus fokus pada membuat kehidupan saat ini semenyenangkan mungkin, sambil memastikan tidak ada generasi selanjutnya yang tunduk pada penderitaan yang dijamin dalam hidup. Karena itu, adalah tidak bermoral untuk melahirkan kehidupan ke dunia ini." Infografik anti natalismeKebijakan Keluarga Berencana KB Mengusung Semangat Anti-Natalis? Dalam kehidupan bernegara, kebijakan dengan semangat anti-natalis diarahkan untuk mengurangi fertilitas. Ada dua pendekatan utama yang digunakan Program Keluarga berencana yang disponsori oleh pemerintah dan pendekatan non keluarga berencana non family planning.Poin program keluarga berencana nasional ditujukan untuk mengurangi fertilitas dengan memberikan peralatan, pelayanan, serta informasi tentang kontrasepsi. Basis argumennya adalah pasangan usia subur yang ingin membatasi besarnya keluarga mereka akan cukup untuk menurunkan rata-rata kelahiran untuk kurun waktu tertentu. Diskusi mengenai hal ini juga perlu didasari pada hak orang tua untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran. Di samping kerelaan untuk mengikuti, keluarga berencana juga diusahakan diterima secara politis karena program ini dapat dipandang sebagai suatu kebijakan kesehatan, yang memiliki keuntungan dalam hal kemanusiaan dan mempromosikan kebebasan individu melalui cara menolong pasangan menentukan jumlah anak yang mereka inginkan. Hanya saja, dengan berbagai hambatan dari faktor agama dan budaya, maka tingkat penerimaan program tersebut acapkali rendah dan akhirnya mengurangi efektivitasnya secara kelemahan pendekatan keluarga berencana dalam menurunkan fertilitas tersebut, yang mana kemudian justru meningkatkan jumlah penduduk, disimpulkan bahwa perlu dilakukan pendekatan yang tidak tergantung kepada keluarga berencana. Pendekatan ini berusaha memengaruhi fertilitas dengan memotivasi orang untuk menginginkan jumlah anak yang lebih kecil. - Sosial Budaya Penulis Eddward S KennedyEditor Nurul Qomariyah Pramisti
negara yang menerapkan kebijakan pro natalis